Usia remaja adalah usia yang kritis. Secara biologis alat reproduksi remaja sudah mencapai kematangan (sudah mengalami mimpi basah untuk laki-laki dan sudah menstruasi untuk perempuan). Artinya mereka sudah mampu aktif secara seksual. Tetapi norma-norma sosial dan agama membatasi aktualisasi potensi itu sampai masuk ke jenjang pernikahan. Masa ini masa yang potensial tetapi terlarang melakukan aktualisasi potensi seksual tersebut seiring dengan makin dininya awal kematangan alat reproduksi (dibawah lima belas tahun) dan naiknya rata-rata usia pernikahan pertama (di atas 20 tahun). Mereka dituntut untuk mengendalikan dorongan seksualnya selama masa tersebut. Pengendalian seperti ini memang sangat diperlukan. Dari sudut pandang agama, pengendalian seperti ini dimaknai sebagai wujud ketakwaan pada Tuhan. Sementara dari sudut pandang kesehatan reproduksi, menghindari seks pra-nikah adalah cara terbaik untuk mencegah penularan infeksi menular seksual dan kehamilan tidak dikehendaki.
Kebanyakan orang tua memang tidak termotivasi untuk memberikan informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi kepada remaja sebab mereka takut hal itu justru akan meningkatkan terjadinya hubungan seks pra-nikah. Padahal, anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua atau sekolah cenderung berperilaku seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya dari orang lain. Keengganan para orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas juga disebabkan oleh rasa rendah diri karena rendahnya pengetahuan mereka mengenai kesehatan reproduksi (pendidikan seks/ kespro). Hambatan utamanya adalah justru bagaimana mengatasi pandangan bahwa segala sesuatu yang berbau seks adalah tabu untuk dibicarakan oleh orang yang belum menikah, karena remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor keingintahuannya mereka akan berusaha untuk mendapatkan informasi ini. Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa.
Pertanyaannya adalah apakah yang harus dilakukan terhadap remaja yang memiliki pemahaman keliru tentang seksualitas? Maka dari itulah Pendidikan Kesehatan Reproduksi hendaknya dapat memberikan dan mengelola pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual bagi remja, membangun sikap positif pada diri remaja untuk menyikapi persoalan seksualitas dan reproduksi, dan diharapkan dapat membentuk bersama perilaku remaja yang bertanggungjawab dalam konteks seksualitas dan reproduksi.
Selain karena permasalahan tersebut di atas, Pendidikan Kesehatan Reproduksi perlu diberikan karena remaja yang masih duduk di bangku sekolah menyatakan setuju terhadap hubungan seks karena alasan akan menikah (laki-laki mencapai 72,5% dan perempuan sebanyak 27,9%). Mereka yang setuju karena alasan saling mencintai: laki-laki mencapai 71,5% dan perempuan sebanyak 28,5% (Sybonete Research, 2004). Ada 86% remaja, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak mengerti tentang kapan terjadinya masa subur. Pendidikan Kesehatan Reprodusi memiliki peranan yang sangat penting dalam proses perubahan dalam aspek pengetahuan, sikap dan perilaku yang berkaitan dengan seksualitas dan reproduksi dengan metode monitoring dan evaluasi yang bersifat partisipatif dan konstruktif.
Membuka akses kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual, berarti membekali remaja untuk mengerti dan paham terhadap dirinya sendiri, mampu menghargai orang lain, dan menghormati kehidupan. Kesehatan reproduksi dan seksual, mengajarkan kepada remaja bagaimana mereka mampu mewujudkan kesejahteraannya baik secara fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksinya.
Kesehatan reproduksi memiliki konsep bahwa setiap orang dapat mempunyai suatu kepuasan dan kehidupan seks yang aman dan bertanggungjawab. Oleh karena itu adalah hak setiap remaja untuk diberi informasi dan mendapatkan akses terhadap kesehatan reproduksi dan seksual yang benar, lengkap dan jujur yang memungkinkan mereka dapat membuat pilihan dan keputusan yang bertanggungjawab berkaitan dengan hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualnya.
Tujuan utama kesehatan reproduksi adalah memberikan pelayanan kesehatan reproduksi kepada setiap individu dan pasangannya secara komprehensif, khususnya kepada remaja agar setiap individu mampu menjalani proses reproduksinya secara sehat dan bertanggungjawab serta terbebas dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan, termasuk di dalamnya pengakuan dan penghormatan atas hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual sebagai bagian integral dari Hak Azasi Manusia.
Tujuan khusus dari pengembangan sistem pendidikan dan pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi remaja adalah untuk melindungi remaja dari resiko pernikahan usia dini, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi, Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS dan kekerasan seksual. Pemberian akses pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja diharapkan dapat meningkatkan kemandirian remaja dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya termasuk kehidupan seksualitasnya, sehinga hak-hak kesehatan reproduksinya dapat terpenuhi dalam meningkatkan kualitas hidup serta kualitas keturunannya baik fisik, mental dan sosialnya serta terbebas dari rasa takut, tindakan kekerasan dan diskriminasi.
Pendidikan Kesehatan Reproduksi tidak akan mempengaruhi permisivitas remaja dalam seksualitas tetapi justru membuat remaja lebih dewasa dalam mensikapi masalah-masalah seksualitas, dan dapat membangun perilaku seksual yang lebih bertanggungjawab. Dan alangkah baiknya dan akan lebih efektif bila orangtua dan sekolah ikut berperan menyampaikan pesan-pesan yang sama mengenai seksualitas remaja tanpa ditutup-tutupi
oleh : priyo basuki
0 komentar:
Posting Komentar